Sawarna : Keindahan yang Tersembunyi
Sebagaimana lazimnya kaum pekerja di ibukota, liburan akhir tahun adalah waktu yang dinanti-nanti untuk berekreasi bersama keluarga. Berbagai destinasi wisata baik yang dekat maupun yang jauh dari Jakarta, bahkan hingga mancanegara pun telah menjadi tujuan para kaum urban ini untuk sejenak melepas penat dari hiruk pikuk Jakarta.
Next Destination : Pantai Legon Pari
akan saya sambung dalam post berikutnya.
Kesempatan untuk bercengkerama dengan keluarga adalah suatu hal yang sangat sayang untuk dilewatkan, hal tersebut pun dimanfaatkan oleh berbagai tempat wisata untuk menawarkan tempat rekreasinya.
Saya pun termasuk salah satunya, memutuskan berlibur di daerah pantai. Kenapa harus ke pantai? karena saya lahir dan besar di bawah kaki gunung Sumbing - Sindoro di Jawa Tengah sana, Jadi keindahan alam penggunungan tak lagi asing bagi saya.
Berbagai pilihan tempat wisata yang dekat dari Jakarta sudah saya list jauh-jauh hari, beberapa hal yang saya jadikan pertimbangan untuk memilih tempat wisata tersebut adalah : Waktu tempuh, Jarak tempuh, dan tentu saja obyek wisatanya.
Ada beberapa pantai yang masuk dalam list saya, diantaranya : Anyer, Pangandaran, Ujung Genteng, Pelabuhan Ratu, Kepulauan Seribu, dan terakhir Sawarna.
Setelah beberapa waktu berdiskusi dengan istri, akhirnya kami memutuskan untuk ke Sawarna degan pertimbangan Jarak & Waktu tempuh yang tidak terlalu jauh serta istri saya belum pernah sama sekali ke Pantai Sawarna. Serta satu hal yang paling penting, kebetulan saya punya famili yang memiliki penginapan disana, sehingga bisa meringankan biaya akomodasi :D
Hari minggu tanggal 28 Desember 2014 kami pun bertolak dari rumah pada pukul 10,00 pagi dengan harapan sampai disana sebelum Maghrib, karena saya tahu daerah menuju ke Sawarna masih terdapat hutan serta jalanan yang buruk dan gelap. Tentunya hal ini sangat saya antisipasi karena istri dan anak saya termasuk orang-orang indigo.
Singkat cerita setelah melewati perjalanan dengan kondisi jalanan yang buruk dari Rangkas Bitung - Bayah serta beberapa kali berhenti karena istri saya yang sedang berbadan dua beberapa kali merasakan sakit di perutnya akibat goncangan kendaraan, akhirnya kami tiba di pertigaan untuk menuju desa Sawarna pada pukul 8 malam dalam siraman hujan yang cukup lebat.
Perjalanan kali ini, adalah perjalanan ketiga saya ke Sawarna, sehingga saya mengetahui bahwa untuk memasuki desa Sawarna kita harus melewati bukit dengan hutan yang masih lebat. Berhubung istri dan anak saya diberikan kelebihan untuk melihat makhluk tak kasat mata, hal ini sengaja tidak saya beri tahu kepada mereka.
Demi kelancaran perjalanan dan memberi rasa tenang bagi keluarga saya, akhirnya saya meminta famili saya untuk menjemput kami di pertigaan tersebut - pertigaan bayawak -. Setelah famili saya datang, akhirnya beriringan kita menuju ke desa Sawarna dan sepanjang perjalanan menuju Sawarna melewati bukit dan hutan tersebut, kami sama sekali tidak berpapasan dengan kendaraan apapun, di belakang kami pun tidak ada kendaraan lain. Sepanjang perjalanan istri saya banyak membaca ayat kursi.
Tibalah sudah kita di penginapan famili saya tersebut, setelah berbincang-bincang sebentar, tak sulit bagi kami untuk terlelap malam itu.
**
Hari pertama di Sawarna, pukul 8 pagi kami dijemput oleh salah satu anak buah famili saya. Dia adalah penduduk asli desa Sawarna dan saat ini dia adalah Tour Guide kami, karena semenjak desa Sawarna dijadikan desa wisata, dia berprofesi sebagai pemandu wisata disana. Kami memanggilnya Kang Baduy.
Objek wisata yang pertama kami tuju adalah Karang Taraje, berhubung lokasi ini terpencil dan tidak dapat dilewati oleh mobil, maka saya memutuskan untuk meminjam motor dari pemilik warung di depan penginapan. Dengan dua buah motor kami berjalan menuju Karang Taraje, istri saya dibonceng Kang Baduy dengan pertimbangan istri saya sedang hamil dan Kang Baduy sangat hafal dengan medan yang akan dilalui, sehingga meminimalisir kemungkinan istri saya terjatuh. Saya mengikuti dibelakangnya berboncengan dengan anak saya yang masih berusia 3 tahun.
Benar rupanya, jalan yang kami lalui cukup terjal dan berliku. Setelah melewati jalanan beraspal lalu menyeberang jembatan gantung, berganti dengan jalan paving blok yang cukup rapi, beralih ke jalan beton kemudian kami disambut jalanan berbatu dan berlumpur sampai akhirnya kami menginjak pasir pantai Legon Pari.
Legon Pari, pantai dengan pasir putih dan pemandangan yang indah kami lewati saja, bermotor di pasir pantai merupakan pengalaman baru bagi kami yang cukup menantang. Kami terus berjalan menuju Karang Taraje.
Karang Taraje adalah sebuah karang yang cukup besar, untuk menaikinya kita harus menggunakan tangga bambu atau taraje, oleh karenanya disebut Karang Taraje. Pada saat laut pasang dan ombak sedang besar, karang ini akan tertutup ombak. Karena posisi karang yang tinggi, maka ketika ombak menghantam karang, air nya akan turun melalui sisi sebaliknya, sehingga jika kita melihat dari bibir pantai seolah-olah menjadi air terjun yang sangat indah. Sayangnya, saat kami kesana kondisi ombak sedang tidak tinggi, sehingga kami tidak dapat melihat air terjun tersebut.
Next Destination : Pantai Legon Pari
akan saya sambung dalam post berikutnya.
Comments
Post a Comment