Puskesmas oh puskesmas!


Entah judul apa yang baik untuk tulisan ini, saya sendiri juga bingung. Hanya saja keinginan untuk menuliskan kejadian yang saya dan istri saya alami beberapa hari yang lalu begitu kuat mendorong saya untuk menuliskannya sekarang.

Pernah saya dengar ada buku berjudul “Orang Miskin dilarang Sakit”, namun sampai hari ini pun saya belum pernah membacanya. Memang, dulu saya sedikit bersikap apriori terhadap buku-buku yang judulnya sedikit provokatif seperti ini. Dulu saya berpendapat bahwa buku-buku seperti ini selalu disusupi gagasan-gagasan kiri, selalu mengatasnamakan masyarakat yang dimarjinalkan. Dan jujur saja, dulu saya tidak begitu respek terhadap gagasan-gagasan tersebut. Pandangan saya waktu itu, sebagaimana mana kita ketahui bahwa Negara ini telah bobrok, mengalami kemunduran, dan kehilangan arah, tak perlulah kita mengungkit-ungkit masalah kebobrokan hanya untuk menyadarkan pemerintah, dalam hemat saya, percuma! Toh mereka yang berdiri di pemerintahan juga belum tentu mau mendengar, saya tegaskan lagi, mau mendengar bukan tidak mendengar.


Menurut saya untuk membangun dan menyadarkan pemerintah yang perlu kita lakukan adalah membawa kabar gembira pada masyarakat, melalui buku-buku yang memotivasi kita untuk lebih maju, lebih mandiri dan tidak bergantung pada pemerintah. Masyarakat kita sudah banyak yang susah, kalo kita jejali dengan bacaan-bacaan yang memang mengisyaratkan bahwa mereka susah, bisa-bisa mereka malah tambah susah! Saya selalu berpandangan melawan hal buruk akan lebih baik jika kita menggunakan hal baik, dengan sesuatu yang positif, bukan malah provokasi untuk menebar kebencian. Bangunlah kualitas diri kita sendiri sehingga orang lain akan malu berbuat buruk kepada kita, begitu pula prinsip saya jika menyangkut pemerintah. Integritas diri  kita yang menentukan masa depan kita, dengan atau tanpa dukungan pemerintah.
Baiklah, cukup sudah ngelanturnya kita kembali ke pokok permasalahan yang hendak saya tulis. Terlepas dari pandangan saya di atas, akhirnya saya mengamini juga judul buku “Orang Miskin dilarang Sakit” tersebut. Ini terkait dengan pengalaman tidak mengenakkan yang saya terima di salah satu Puskesmas di daerah Kayu Putih, Jakarta Timur.

Bermula dari istri saya yang tengah hamil 8 bulan, tiba-tiba merasakan sakit yang luar biasa pada perutnya. Berhubung waktu itu kami sedang tinggal di rumah orang tua di daerah Kayu Putih  tersebut, sementara dokter langganan kami di Cinere, jadi mau ga mau kami mencari bidan terdekat. Ternyata bidan terdekat baru buka praktek sore hari, tidak ada pilihan lain selain puskesmas, kenapa kami tidak ke rumah sakit terdekat? Karena saya yakin bahwa saat itu memang belum waktunya melahirkan, saya hanya ingin memastikan saja ke bidan supaya istri tidak khawatir.

Di puskesmas itulah pengalaman tidak mengenakkan tersebut terjadi. Saat kami hendak mendaftar, kami disambut tatapan yang tidak ramah dari petugas pendaftaran, seorang wanita setengah baya. Dengan tampang yang cenderung menyepelekan kami, dia pun bertanya dengan nada ketus “Ada perlu apa!??” Tentu saja kami terkejut, tapi kami masih bisa menahan diri dan menjelaskan keperluan kami. Sungguh sangat kontras ketika saya periksa ke Rumah Sakit swasta, pertanyaan yang mereka ucapkan biasanya “Ada yang bisa saya bantu?”. Inti dari pertanyaannya sama, tapi rasa bahasanya jauh berbeda. Lanjut ke cerita tadi, setelah kami menjelaskan keperluan kami ‘beliau’ langsung ngeloyor pergi ke belakang tanpa memberi  jawaban sama sekali! Kami hanya bisa bersabar dan menunggu, tak berapa lama ‘beliau’ datang lagi, dan lagi-lagi bertanya dengan nada yang tidak sopan “Jadi ibu mau periksa atau mau apa!?” kami jawab “Mau periksa, bu”. Begitu mendengar jawaban kami ‘beliau’ Cuma jawab, “Tunggu ya!”, setelah itu ‘beliau’ kembali pergi ke belakang tanpa memberi jawaban maupun penjelasan kepada kami apa yang harus kami tunggu. Apakah kami harus menunggu bidan karena bidan sedang tidak ada di tempat? Ataukah kami harus menunggu karena saat itu sedang waktu istirahat? Kami benar-benar tidak tahu. Dan yang membuat kami begitu kesal ternyata ‘beliau’ malah asyik ngobrol di ruangan belakang. Diperlakukan seperti ini jelas kesabaran kami habis, kami juga melihat ada beberapa pasien di ruang tunggu yang tampak gelisah, tapi mereka pasrah. Sedang kami tidak! Apalagi setelah saya dengar cerita dari istri saya, bahwa di puskesmas tersebut memang demikian adatnya. Istri saya bercerita dulu ketika dia masih sekolah, setiap kali dia datang ke puskesmas tersebut, pelayanan seperti itulah yang ia dapatkan. Berbeda pelayanannya ketika istri saya datang ke puskesmas tersebut dengan ibunya yang notabene kepala sekolah di daerah tersebut. Istri saya juga bercerita bahwa mereka menjadi sangat ramah jika pasien tersebut memakai seragam pegawai negeri. Jika pasiennya orang biasa mereka bertindak semena-mena. Sungguh ironis!! Namanya  juga Pusat Kesehatan Masyarakat, tapi ketika masyarakat yang berobat diperlakukan seenaknya!!

Setelah mendengar cerita istri tersebut, saya langsung ajak istri saya untuk keluar, mencari klinik terdekat. Bukan masalah biaya saya ke puskesmas, masalah jarak saja sebenarnya. Ketika kami hendak pulang, ada salah satu petugas yang coba menahan kami. Tapi kami merasa sudah sangat dikecewakan, dengan nada keras saya bilang ke petugas itu bahwa tak seharusnya pasien diperlakukan seperti itu, puskesmas adalah pelayanan publik, harus bersikap ramah tanpa pandang bulu, bukan malah pasien ditelantarkan hanya untuk mengobrol. Dia terlihat cukup malu dan tetap bersikeras agar kami menunggu, saya jelaskan lagi apa yang harus saya tunggu, tidak ada satupun antrian ke bidan, hanya kami! Kami harus menunggu petugas tersebut selesai ngobrol hanya untuk sekedar diperiksa bidan!!? Semoga Allah menyadarkan mereka dan kita selalu diberi ketabahan. Semoga Allah memaafkan kekhilafan kita. Amin.

Beruntung saya mendapat Asuransi dari perusahaan saya, tanpa sistem reimburst serta manfaat yang lebih dari cukup, jadi saya tidak terlalu khawatir ketika hendak berobat ke Rumah Sakit. Selama ini saya selalu berobat ke rumah sakit, baru kali itu saya berobat ke puskesmas. Lalu bagaimana nasib jutaan rakyat kita yang tidak beruntung memiliki asuransi ? Atau mereka yang tidak berprofesi sebagai karyawan?
Sungguh saya sangat kecewa terhadap pelayanan publik di Negara yang saya cintai ini, bukan sekali dua kali saya mengalami hal seperti ini. Hampir di setiap instansi pemerintahan saya selalu mengalami hal serupa. Akhirnya saya pun mengamini judul buku “Orang Miskin dilarang Sakit”.

Comments

Popular Posts