Mari Bercinta
Sebagian dari kita mungkin sering bertanya-tanya mengenai makna kata ‘bercinta’, dan bukan tidak mungkin diantara pembaca pun ada yang bertanya-tanya mengenai judul dari tulisan ini. Memang di sini saya sengaja menggunakan judul ini untuk menarik perhatian pembaca, tentunya jika ini berhasil. Selain itu saya juga bermaksud membahas mengenai penyempitan makna kata ‘bercinta’ itu sendiri. Dan salah satu alasan lain karena tulisan ini pun juga berusaha membahas cinta dan beberapa pengertian serta pemahaman di dalamnya.
Sebagai bahasan awal mungkin kita langsung berbicara mengenai cinta, adapun makna dari cinta itu sendiri sangat luas. Cinta yang merupakan sesuatu yang lebih dalam dari rasa sayang, atau katakanlah kasih sayang itu merupakan konsekuensi yang timbul karena cinta dan bukan karena ada kasih sayang lalu tumbuh cinta. Jadi makna dari cinta itu luas, tetapi kemudian timbul penyempitan makna tersebut dimana kata cinta cenderung lebih ditafsirkan menunjuk pada satu obyek dan kecenderungan itu lebih mengarah kepada lawan jenis. Sedangkan kasih sayang menjadi bermakna luas, bisa mengarah pada siapapun berupa obyek maupun subyek. Kecenderungan-kecenderungan inilah yang hidup dan eksis dalam pengertian kata cinta saat ini, padahal kalau kita tinjau kembali makna cinta yang luas. Cinta itu dapat berupa, cinta orang tua, cinta diri, cinta Tuhan dan sebagainya. Sedangkan cinta yang menunjuk pada pengertian lawan jenis oleh Erich Fromm dalam bukunya The Art Of Loving dimasukkan sebagai cinta erotis. Pembahasan awal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan kerancuan mengenai makna kata ‘cinta’ yang saya gunakan untuk menghindari salah tafsir, maka kata ‘cinta’ ini kita sepakati sebagai makna yang luas. Sedangkan untuk pengertian ‘cinta’ yang menunjuk pada lawan jenis saya menggunakan istilah ‘cinta erotis’.
Cinta dengan berbagai misterinya terus menerus menjadi bahan yang tak pernah habis untuk selalu dibahas oleh penulis, sastrawan, seniman maupun kita sendiri. Mengapa bisa demikian? Karena cinta merupakan sesuatu yang kodrati yang telah diciptakan Tuhan bersama dengan terciptanya manusia itu sendiri, Karena Tuhan menggunakan cintaNya ketika menciptakan manusia. Selain itu karena manusia dilahirkan di dunia ini baik sebagai bangsa atau sebagai individu, tak ubahnya terlempar dari suatu keadaan yang begitu jelas dan pasti untuk kemudian melanglang buana dalam dunia yang serba tak pasti ini. Kemudian manusia mulai menyadari bahwa dirinya merupakan entitas yang terpisah serta memiliki kesadaran akan jangka hidupnya yang pendek, akan fakta bahwa ia dilahirkan dan mati diluar keinginan dan kemauannya. Mereka mulai menyadari bahwa kelak semuanya akan meninggalkannya. Semua kenyataan ini membuat keterpisahan manusia, dan perasaan sendiri ini menjadi penjara yang tak terperikan. Oleh karena itu manusia harus keluar dari penjara ini dan mencari pertalian atau hubungan baru dengan manusia lain maupun dunia luar. Bentuk pertalian inilah yang kemudian membuahkan cinta, karena untuk menghilangkan rasa keterpisahan serta kesendirian itu manusia membutuhkan penyatuan, dan penyatuan itu dapat tercapai dengan mencintai.
Namun kemudian seiring dengan bermunculannya pandangan-pandangan serta pemikiran-pemikiran di masa modern ini, kebanyakan dalam masalah cinta, orang pertama-tama melihatnya sebagai persoalan dicintai ketimbang mencintai. Sehingga orang cenderung berusaha bagaimana agar ia dicintai dan bukan bagaimana agar bisa mencintai. Kalau dilihat dari segi makna bahasa kata dicintai yang merupakan kata kerja pasif mengandung pengertian bahwa subyek berada dalam posisi menerima, sedangkan dalam kata mencintai yang merupakan kata kerja aktif mengandung pengertian bahwa subyek berada pada posisi memberi. Dari pengertian ini pun kita mengetahui – sesuai pepatah tangan di atas selalu lebih baik daripada tangan di bawah - bahwa makna memberi selalu lebih baik dari menerima, tentunya hal ini sesuai dengan konteks kita kali ini. Kembali lagi kepada kecenderungan di atas, hal itu mengakibatkan pengertian bahwa mencintai itu persoalan mudah sedangkan yang sulit adalah mencari obyek yang tepat untuk mencintai atau dicintai. Padahal untuk bisa mencintai itu dibutuhkan berbagai sikap kedewasaan, mengurangi ego, serta siap menerima, hal-hal demikianlah yang kemudian sering diabaikan. Serta yang terpenting adalah kita tidak membutuhkan suatu alasan untuk mencintai baik ini dalam pengertian cinta yang luas maupun cinta erotis. Cinta yang murni adalah cinta yang tidak memerlukan syarat. Namun dengan berkembangnya paham materialisme serta kecenderungan orang untuk lebih dicintai, maka timbullah syarat-syarat untuk dicintai dan mencintai. Salah satunya adalah melalui penampilan, sikap dan sebagainya dan terlebih lagi melalui media kemudian tercipta tipikal orang-orang idaman.
Seperti dikatakan sebelumnya bahwa tidak dibutuhkan syarat untuk mencintai, cinta pun tidak akan lahir dari suatu paksaan. Sebagaimana bunyi salah satu lagu Perancis: L’amour est l’enfant de la liberté – cinta adalah anak kandung kebebasan - ; cinta tidak pernah lahir dari dominasi atau paksaan. Bahwa cinta merupakan suatu media pembebasan bagi manusia untuk mengatasi rasa keterpisahan dirinya dan dalam cinta haruslah tercapai suatu pembebasan dan bukannya menjadi penjara yang lain – penjara dari orang yang mencintai -. Menurut Erich Fromm cinta adalah aktifitas, bukan afeksi pasif; cinta selalu bersifat ‘berdiri dalam’ (standing in) dan bukan ‘jatuh untuk’ (falling for). Dalam bentuk yang paling umum, karakter aktif dari cinta dapat dijelaskan lewat pernyataan bahwa cinta pertama-tama adalah persoalan memberi dan bukan menerima. Dan yang terpenting memberi tidak sama dengan memberikan. Dalam memberikan terkandung makna mengorbankan jadi memberikan sesuatu merupakan sebagai suatu bentuk pengorbanan. Sedangkan memberi adalah bentuk ekspresi tertinggi dari potensi yang ada dalam diri manusia. Dalam tindakan memberi, timbul rasa penuh berkah serta hidup dan menimbulkan rasa gembira. Dalam tindakan memberi, ada sesuatu yang dilahirkan. Dalam hubungan cinta kasih, hal ini mengandung arti: cinta adalah kekuatan yang menghasilkan cinta. Atau kalau menurut Karl Marx: “ Anggaplah manusia sebagai manusia dan hubungannya dengan dunia sebagai hubungan yang manusiawi. Kamu hanya dapat menukar cinta dengan cinta, kepercayaan dengan kepercayaan, dsb.” Namun ini semua tetap tergantung pada perkembangan karakter pribadi masing-masing orang.
Mengenai pembebasan dalam cinta, maksudnya cinta erotis adalah bahwa cinta sebagai proses bersatunya individu yang berbeda, tidak kemudian menghilangkan karakter masing-masing, melainkan bagaimana kemudian timbul suatu penghargaan dan pengertian terhadap perbedaan tersebut. Sehingga setiap individu yang terlibat di dalamnya tetap bisa mengembangkan karakter yang dimilikinya, dan kemudian dalam penyatuan itu tercapai keadaan dua individu menjadi satu namun tetap dua atau dalam bahasa inggrisnya become one and yet remain two. Selain timbul penghargaan dan pengertian yang melahirkan kebebasan, dalam cinta juga dibutuhkan usaha untuk tetap mempertahankan cinta tersebut, yang kemudian menimbulkan perhatian dan kepedulian dan dari keduanya ini maka muncullah tanggung jawab. Tanggung jawab dalam arti yang sebenarnya adalah perbuatan yang benar-benar bersifat sukarela. Dan hal ini kembali ke dalam penghargaan dan pengertian, karena jika tanggung jawab tidak disertai dua hal ini di dalamnya maka akan menimbulkan dominasi yang justru kemudian akan menghilangkan kebebasan dari cinta tersebut.
Sebagai penutup tulisan ini dan juga kembali pada pembuka tulisan ini, dimana pengertian kata ‘bercinta’ yang sekarang bergeser menjadi sebuah pengertian negatif, maksudnya bahwa ‘bercinta’ sekarang mengandung pengertian aktifitas seksual dan bukan aktifitas saling mencintai. Hal ini terkait erat dengan pengaruh budaya barat, terkhusus bahasa inggris, dimana kata ‘bercinta’ itu diartikan dari istilah bahasa inggris ‘make love’ yang mempunyai makna tersebut di atas. Sebenarnya hal ini sah-sah saja terjadi dan merupakan sebuah gejala bahasa dalam suatu masyarakat. Tapi yang kemudian saya garis bawahi adalah bahwa pengaruh ini ternyata tidak hanya terjadi dalam tataran bahasa saja, melainkan lebih jauh ke dalam tataran budaya. Disini kita bicara fakta saja, bahwa kemudian budaya free seks sedemikian hebatnya merebak di negara kita bersamaan dengan bergesernya makna kata ‘bercinta’ ini. Bukannya apa-apa, tapi penggunaan kata ‘bercinta’ sebagai suatu istilah untuk menyampaikan aktifitas seksual, akan menimbulkan pengertian bahwa cinta adalah ekspresi dari naluri seksual sebagaimana pendapat Freud. Padahal menurut Erich Fromm justru sebaliknya; keinginan seksual merupakan manifestasi dari kebutuhan akan cinta dan kesatuan. Jadi yang saya khawatirkan adalah ketika kemudian penggunaan kata ‘bercinta’ dan pengertian yang terkandung di dalamnya itu semakin meluas, maka kecenderungan generasi nanti menganggap bahwa cinta itu adalah hanya sebatas seks bukan tidak mungkin terjadi. Alangkah lebih baik jika kita bisa menemukan padanan kata yang dapat menggantikan penggunaan kata bercinta tersebut, walaupun memang kata bercinta memiliki nada bahasa yang sopan, namun kecenderungan makna yang dibawanya dapat berubah menjadi negatif seperti saya ungkapkan di atas. Karena bagaimanapun juga bagi saya free seks merupakan sesuatu yang negatif dan merendahkan harga diri dan nilai manusia. Kalaupun bagi yang lain tidak demikian itu merupakan hak masing-masing individu dan saya menghargainya.
Sebagai kata-kata penutup, saya mencoba mengutip salah satu ucapan Oscar Wilde; The mystery of love is greater than the mystery of death.
Comments
Post a Comment