Debu (Bagian II)
BAGIAN 2
Pagi ini aku terbangun dengan perasaan kurang lebih sama seperti pagi-pagi lain setahun ini. Dan keringat dingin yang melengket, apet menyertai. Mimpi yang sama terus berulang. Menggulung, menerkam dengan segala bayang tak pastinya. Selama ini aku terus berkeras bahwa mimpi hanyalah mimpi. Tidak lebih, tidak kurang. Tapi semakin aku mengabaikannya, mimpi itu datang semakin intens, semakin rapat dengan durasi semakin panjang. Dan aku semakin letih.
Tanggalan di dinding kamarku mengingatkan aku pada janji yang harus kutepati siang ini. Saatnya menghadapi kenyataan.
Bercermin pada kaca gelas teh sisa kemarin. Sekilas mataku menampakan kilat mata sang denawa tadi malam (dan malam-malam kemarin), menatap nyalang. Segera kualihkan pandanganku ke arah patung orang tua di seberang kamar. Sejenak baru aku tersadar, kenapa harus melihat ke patung itu? (...) Patung ukir itu pemberianmu sebelum kau... Bentuknya seperti seorang pengembara tua yang sudah letih dimakan waktu dan juga peristiwa-peristiwa yang dilalui sepanjang hidupnya. Sejenak aku teringat bayangan dalam mimpi tadi malam. Dan aku terhenyak; ada kemiripan citra antara patung ini dengan sang bayangan. Hhhh...jadi merinding.
Langit hari ini sedikit mendung. Sama seperti kemarin dan kemarin. Seakan menyimpan irisan dendam terpendam. Peristiwa-peristiwa pahit yang mengendap jadi gumpalan-gumpalan gelap yang memenuhi lapang kelabu. Menyerak tak beraturan tapi sekaligus menyelubung menyeluruh, melapur biru dengan abu kelam. Dan dibawah kemegahan ini lututku terasa kaku dan enggan untuk melangkah. Tapi mungkin memang sudah saatnya.
“Denawa!”
Hah...! Apa pula ini? Nggak salah dengar? Komunikasi verbal yang gagal? Terperangkap (lagi) dalam delusi sub-kesadaran yang mendadak berkontraksi memang kadang-kadang tidak menyenangkan. Lebih baik mabuk Mansion House. Setidaknya mabuk minum punya titik nol.
“Hey!...kemana aja? Dah tiga hari nggak ke kampus, kirain mati!”
[kau tersenyum]
Hampir, kataku dalam hati.
“Gua lagi malas aja.” Mengelak. “Belum mati kok...Mmm, tadi kamu manggil gua apa?”
“Denawa.”
Aku menelan ludah. Aku tahu pasti mulutmu tidak mengartikulasikan kata “denawa”. Kau mengucapkan namaku dengan jelas. Tapi kenapa yang ku indera kata itu? [kau sedang menceritakan sesuatu. Entahlah, mungkin salah satu ceritamu lagi yang, seperti yang lain, hanya keluar sebagai pembunuh kegamangan berkedok pertemanan. Aku terlalu bingung untuk mengartikan gumaman-gumamanmu sebagai ujaran-ujaran yang dapat ditalar.] Kepalaku mulai pening ketika terlintas ide bahwa mungkin debuku tak hanya membuat asma dan jerawat, tapi juga malfungsi otak.
Kejang-kejang ini mulai lagi.
Setelah sisa kabut selesai menguap.
Entah, aku jadi tak percaya lagi pada waktu. Waktu yang terus berlalu hanya menjadi semacam permainan tebak-tebakan. Ruangan ini pun juga sama, seperti juga mimpi, seolah aku hanya berpindah-pindah saja. Tiada takaran dan patokan yang seimbang lagi.
Semesta. Dimensi. Semua mengubur diriku dalam belantara debu. Hari ketika kau memanggilku ‘Denawa’ seperti telah berabad berlalu, bagai suara dari alam lain—ruang lain—tapi sebenarnya baru beberapa menit yang lalu. Aku menjadi bulan-bulanan waktu. Pikiranku melompat-lompat pada berbagai peristiwa ketika aku menatapmu. Bayangan berkelebat itu ada pada bayanganmu, juga debu itu. Dan kau masih mengoceh sambil menggoda, tapi tak satupun makna kutangkap dari ocehanmu. Suaramu terdengar sangat jauh... aku hanya bisa memandang.
Beberapa saat kemudian kau melambaikan tangan, meninggalkan seikat senyum dalam sampul buku yang kau berikan padaku.
Senja
Selepas berinteraksi dengan manusia-manusia nyata—mungkin lebih layak kusebut mereka seperti ini, karena mereka bukan bayangan dan bukan pula debu—seperti biasa aku menghabiskan seperempat hariku dengan duduk-duduk di gerbang kampus. Aku dan beberapa teman yang tak sepenuhnya kukenal—hanya sebatas kepentingan yang sama, atau perasaan sama, entah—hanya saling diam dan mengamati perjalanan-perjalanan manusia-manusia ini. Padahal aku juga bagian dari mereka—manusia-manusia nyata—tapi aku tak merasa demikian. Pengemis-pengemis yang merengek minta uang, menjual kesusahannya kepada orang-orang yang dianggapnya ikut bertanggung jawab pada kehidupannya. Gadis-gadis yang tertawa-tawa, menjual bibir manis dan lekuk tubuh pada deretan mata yang tak berkedip di sepanjang gerbang, lalu dengan bangga mempredikati diri sebagai si sexy. Atau para pedagang yang bekerja penuh semangat menjajakan dagangannya, sambil mencuri-curi pandang untuk mengusahakan perluasan usahanya. Lalu anak-anak kecil yang berlarian polos, mereka anak siapa aku kurang begitu tahu, hanya saja ada kekhawatiran tentang masa depan mereka yang muncul di hatiku. Sepertinya aku terlalu sinis memandang semua ini, mungkin aku jauh lebih buruk dari mereka semua yang selalu aku caci dalam hati. Tapi memang beginilah aku, seorang hipokrit sejati.
Tanpa terasa ternyata tinggal aku seorang diri yang duduk di sini, sementara teman-temanku telah menghilang entah kemana. Dan akupun mengerti keadaan seperti ini memang sudah biasa. Aku tetap diam dan kembali mengamati sekeliling. Mungkin burung-burung yang sedang terbang itu juga sedang mengamati diriku.
Senja kemudian benar-benar telah menguasai hari. Semakin banyak manusia-manusia berjalan di sekitarku dengan aroma dan gaya yang beragam. Di kiri-kananku pun mulai banyak manusia-manusia yang duduk dan bercengkerama saling tertawa bahkan terkadang saling mengejek. Aku tetap mengamati dan menemukan sebuah cerita menarik yang mungkin kelak bisa kutulis. Itu juga kalau aku masih bisa menguasai waktu.
Tapi saat kemudian kau muncul dengan membawa segala macam warna muka, serentak aku kembali kehilangan patokan pada waktu. Kau menyapaku dan terus berceloteh, sepertinya bahan celotehanmu sangat menarik bagimu. Namun tetap saja, aku tak bisa menangkap makna celotehanmu, walau hanya sedikit. Kembali bayangan berkelebat itu ada padamu. Aku terpaku disini diantara celotehanmu. Entah ini senja ke berapa aku pun tak tahu, yang aku tahu pasti kamu masih disini mengoceh dan menguburku di senja ini—jika memang perkiraan waktuku tepat.
Tiba-tiba kau menanyakan buku pemberianmu.
“Gimana? Dah baca belum?”
Aku terkesiap. “Mmm...belum.”
Ada sedikit perasaan bersalah yang diam-diam masuk. Ahh...kenapa? Jadi heran sama perasaan sendiri. Tak seharusnya merasa bersalah. Tapi...
“Heh! Malah ngelamun! Buku itu buku bagus. Nggak punya nilai moral. Hanya buku bagus! Menyentak. Menandak-nandak seperti barong yang mencari induknya. Setidaknya menurutku.”
Mmm...begitu ya? Aku juga seperti barong kalau begitu, juga seperti sperma mencari ovum, menandak liar mencari asal.
“Kamu pasti suka.”
Tidakkah kau tahu kalau aku sudah lama kehilangan minatku pada buku? Buku hanya menjadi gajih yang menempel dalam lapisan daging. Jadi nikotin pelega sesaat yang diganyang otak yang kecanduan. Lalu terjadi lagi sebuah distorsi komunikasi.
“Eh...kamu tahu patung yang kamu berikan waktu itu?”
“Yang mana?”
Ampun! Sepertinya disorientasi waktu juga terjadi padamu.
“Patung orang tua yang kamu berikan sebelum kamu...”
“Oh, itu...kenapa?”
“Aku punya mimpi-mimpi aneh yang memunculkan figur patung itu didalamnya.”
“Yah, kadang-kadang memang serpihan kenyataan menyelusup dalam ruang mimpi...”
“ Seperti itukah menurutmu? Bagiku memang ruang mimpi dan kenyataan terletak dalam ruang yang sama, tapi sekatnya berbeda. Ada sebuah garis sangat tipis yang membedakannya, mungkin kamu yang debu....”
Segera aku menghentikan omonganku, karena kusadari bahwa kau tak perlu tahu kamu yang debu. Saat itu pula kau seperti terhenyak menatapku kosong. Seakan dengan sorot mata menjijikkan. Dan aku tenggelam dalam telaga matamu, mencoba mengais ngais akar bakau. Lalu gelap aku kehilangan kendali.
Daun kering yang jatuh tertiup angin melambai-lambai. Sebuah kecupan hangat menempel di bibirku membuatku terperanjat. Kudapati lukisan senyum di wajahmu yang tirus. Benarkah kau menciumku? Tapi sepertinya memang barusan kau yang menciumku. Senyummu semakin mengembang lalu kau berbisik
“Patung itu hanyalah media, semacam perantara....” Dan kau tersenyum lagi. “Aku tahu hampir semua yang kau pikirkan dan yang kau lakukan, karena aku.....”
“Stop!!!” teriakku histeris. “Menjadi bulan-bulanan kenyataan merupakan hal yang paling aku benci. Dan aku merasa kau mempermainkanku, aku tak bisa terima itu!” Aku marah. “Aku tak mau terikat dengan ciuman yang kau lempar barusan!!! Ingat itu!!!”
Tapi kamu hanya mematung, menjadi patung yang tersenyum dengan sorot mata yang......aku tak kuat lagi. Kembali semuanya bergerak acak. Aku berlari dari kenyataan, memasuki pelataran senja yang segera di tutup tirainya. Tak lagi kutolehkan kepalaku. Jutaan kejadian dan peristiwa kembali berkelebat. Dan aku terdampar pada suatu entah yang membisu.
Comments
Post a Comment