Debu (Bagian I)

BAGIAN 1


Kejang-kejang ini mulai lagi. Sepertinya tak menunda-nunda. Keringat dingin di atas paras yang memerah dipompa darah.

Oh...pada dasarnya nelangsa adalah sebuah niscaya... Selalu hadir semacam debu-debu di jalanan, kadang tampak kadang hilang, kadang terasa kadang tak terasa namun selalu ada, selalu ada...!

Seperti hari ini misalnya, ketika kamu mencandai setiap nama di benakmu, dan aku merintih, menggelepar, merangkak-rangkak mencari setiap geletar nafasmu yang masih tersisa di antara ubun-ubun dan kakiku. Aku tetap mencari-cari ketelanjanganmu, kepolosanmu dan semua tentangmu, karena kamu adalah aku, bagian yang terkadang tampak kadang hilang, kadang terasa kadang tidak. Kamu adalah debuku, kamu adalah nelangsaku.

Alangkah indah mungkin nama-nama yang telah kamu candai. Beratus-ratus harapan mungkin telah kamu gantungkan pada setiap nama itu, berjuta-juta tangis dan rintihan kamu semburkan pada nama-nama itu, tapi kamu tetap tak tahu bahwasanya akulah tempat berlabuhmu. Akulah samudera kelapanganmu, karena akulah wadag bagi jiwamu dan juga jiwa bagi wadagmu. Tapi begitulah dirimu. Debu.

Tapi, kalau begitu aku juga debu? Hanya partikel-partikel mikro lekat. Begitu tak berarti? Hanya untuk dikebas dari kasut Sang Peziarah Sejarah yang sudah suntuk dikejar tidur. Sudahlah...mungkin aku hanya bermimpi—hanya didera pecahan atom sub-kesadaran yang meledak. Dia sudah menanti aku. Saatnya menghadapi debuku. Aku beranjak. Duduk. Beranjak. Menoleh. Duduk lagi. Kontrol dong! Beranjak. Melangkah. Melangkah. Berbalik. Menoleh. Berbalik. Melangkah. Menaiki tangga. Duduk. Beranjak. Duduk. Beranjak. Menuruni tangga. Menoleh. Menaiki tangga. Sampai depan pintu. Pintu debuku. Berbalik. Menoleh. Menghela nafas. Ahhh...apakah ini saat yang tepat? Hanya aku dan debuku yang tahu.

Kejang-kejang ini mulai lagi. Debu memang tak terlihat. Tapi ia nyata. Mengelitik. Menyebabkan jerawat dan asma. Dan inilah yang kutakutkan. Lumat dalam nelangsa.

Mencoba tidur aku kembali beranjak, duduk di depan cermin dalam temaram lampu kamar yang tak menyerupai kamar. Kesendirian kulihat di sana, mataku beradu dengan matamu. Sepertinya kamu juga sadar, tapi itu tetap bukan dirimu! Sorot matamu tak seperti mataku. Bukan! Bukan kamu! Setan!!! Sorot matamu itu memuakkan, memualkan dan menjijikkan. Membuatku ingin muntah.

Aku marah dan berlari keluar kamar yang tak berpintu, kuambil senapan yang tergeletak di ruang tamu. Berlari, berlari, berlari aku berlari seperti orang gila, atau memang? Menuju sungai, aku menuju sungai menghampiri saksi sejarah yang tetap singgah. Batu, lumut, dan perdu. Aku hampiri mereka dengan senjata masih di tangan, ingin kuhabisi diriku sendiri karena mungkin aku gila, tapi aku gila tidak gila. Kutarik picu senapan yang telah kuarahkan ke kepalaku, tapi ternyata kosong. Kenapa bisa begitu? Kenapa bahkan benda semacam peluru pun enggan menyentuh batok kepalaku dan meledakkan otakku biar hancur berkeping-keping hingga aku tak perlu lagi melihat sorot matamu. Bangsat!!! Aku kembali berlari menyisir sungai menuju hulu, mencari air terjun di tengah gunung.

Malam ini hutan sepertinya juga enggan mengantarkanku menuju air terjun itu, perjalananku menuju kenikmatan. Aku tetap berlari walau kegelapan malam mencekik-cekik kakiku. Burung-burung malam tak mempedulikanku, mereka hanya diam. Kabut-kabut tipis menyusul silih berganti. Aku berlari dengan kecepatan penuh, tetapi seisi hutan ini seperti sama sekali tak bergerak, selalu saja aku menemui pohon dan tikungan yang sama. Ke mana air terjun itu?

Terjerembab. Ranting mati pun seperti tertawa. Konyol, katanya. Dan tetap saja citra-citra di sekitarku terlihat seperti klise slide yang diputar di sebuah proyektor tua. Senapanku tergeletak di depanku. Moncongnya seakan berbicara terpatah-patah dalam film hitam putih. Tak jelas. Arbitrer.

“Debumu yang menjegalmu.”

Cih!! Apa pula ini? Aku bangkit lagi. Jengah. Apa harus kuteruskan perjalanan ini?

Stereotipe kisah cinta yang terus melipat. Kesal. Aku harus mengetuk pintumu. Darahku mendesir. Apakah ini ujung sebuah perjalanan? Atau hanya gerbang menuju jeram-jeram hitam yang menggolak—dan menenggelamkan?

Tiba-tiba sesosok bentuk dalam cermin ajaib di kamarku muncul lagi membayang. Meringis-ringis. Berubah-ubah bentuk dari moncong senapan ke wajah denawa lalu ke wajahku yang kukenal. Aku menggigil.... Pemandangan ini terlalu menakutkan, karena lama-lama aku mulai tidak mengenali wajahku sendiri.

Perjalanan yang memang tak pernah sama selalu terus kulakukan, tapi perjalanan ini....sungguh...sungguh.... tak mampu aku menceritakannya, seperti jutaan batu raksasa menghalangi otakku, otakku! Bukan tubuhku. Bahkan bayangan-bayangan itu benar-benar membuatku jengah, jengah yang kepalang. Karena dalam bayangan itu otakku diperkosa, sementara orgasme yang kurasakan tak lagi nikmat, senikmat ketika aku mencumbui debu, mencumbui nelangsa, atau mencumbui dirimu entah jiwamu, entah pula wadagmu.

Perjalanan ini mungkin menjadi akhir setiap perjalanan, sebagai penutup ketika kamu tak lebih baik dari bayangan-bayangan itu. Kamu harus nyata. Bisa dirasa, walau kadang hilang. Karena kamu debu, debu bagianku. Kamu harus kembali! Kalau memang suatu perbuatan harus mempunyai tujuan, seperti teori yang selalu kita dengar dalam seminar-seminar, diskursus, atau apalah, itulah tujuan perjalanan ini, mencari dirimu.

“Siapakah dirimu? Manusia yang bukan manusia, bukan juga dewa atau setan gentayangan? Siapakah kamu?”

Sekelebat bayangan di depanku tiba-tiba bertanya. Darah dalam jantungku bergejolak, mataku memerah. Bukan karena takut akan sosoknya, tapi pertanyaan itu membuatku takut. Semacam trauma akan sebuah identitas. Aku tak mampu menjawabnya, yang aku tahu aku adalah bagian dari dirimu, dirimu yang debu. Dan yang aku tahu pasti kamu adalah debuku, kamu nelangsaku. Lalu dengan apa aku harus menjawabnya, karena aku tak mungkin memanggil bayangan itu dengan sebutan ‘kamu’ karena dalam benakku, dan logika bahasaku, ‘kamu’ hanya satu, yaitu kamu yang debu. Yang lainnya, aku tak pernah punya nama untuk menyebut, tak seperti kamu yang selalu mencandai nama-nama yang berserakan di labirin otakmu.

‘Bayangan’ akhirnya kusebut sekelebat bayangan itu demikian. Bayangan, kenapa pula dirimu mesti bertanya pertanyaan itu padaku? Hanya kamu yang debu yang tahu siapa diriku. Akhirnya jawaban itulah, yang menurut benakku diplomatis, yang keluar dari mulutku. Entah mulutku ini berbicara benar atau tidak, aku tak tahu. Sebab aku tak bisa lagi membedakan mana yang benar dan mana yang tidak sejak aku kehilanganmu, kamu yang debu.

Sejenak bayangan itu bergetar, bergulung, dan bergoyang—mengingatkanku pada proyeksi hologram di film-film sains fiksi. Sebuah distorsi komunikasi yang disengaja? Oleh siapa? [terus mengamati untuk beberapa lama sampai...] Ahh...proyeksi itu mulai jelas!

Ya! Walau tersamar proyeksi itu membentuk sebuah struktur yang jelas. Tersamar tapi jelas, di dalamnya terpancar butiran-butiran debu, halus, berwarna-warni. Inilah debu terindah yang pernah kulihat. Aku tak begitu memperhatikan bentuk proyeksinya. Aku hanya mengamati debu-debu indah yang membentuknya, entah berbentuk apa aku tak peduli. Debu-debu itu sangat berstruktur, ada semacam koherensi satu sama lain walau bergerak acak. Siapa bilang debu-debu itu diam? debu-debu itu bergerak dengan ketidakaturan yang teratur, bahkan lebih teratur dari jadwal-jadwal yang kita atur. Dalam ketidakaturan mereka terbentuk keindahan. Sungguh aku benar-benar terpesona.

Malam ternyata telah larut, dan kepekatan ini tak begitu kuperhatikan. Keasyikanku mengamati proyeksi bayangan itu begitu membuatku lupa. Ternyata semakin lama kuamati, bentuk proyeksi itu semakin mengingatkanku pada sesuatu yang pernah dekat...Tapi tak mungkin! Tidak! Aku takkan mungkin mengakui bahwa bentuk itu, adalah bentuk kamu! Dengan segala keindahan itu, tak mungkin itu kamu! Kamu memang indah, tapi tak seindah ini, dan yang aku tahu kamu telah berubah. Aku diam, menenangkan diriku, mencoba menyapa logikaku. Aku diam.

Tidak mungkin itu kamu! Karena kamu adalah proyeksi dari bayangan yang muncul sebelumnya, dan bayangan itu yang bertanya padaku, lagipula kalau memang bayangan itu kamu, padahal sudah kubilang bahwa hanya kamu yang debu yang tahu, lalu apa maksud bayangan itu menanyakannya padaku. Tidak mungkin! Ini pasti ilusi. Dengan sangat kecewa kutinggalkan proyeksi itu, aku kembali berlari sekuat tenaga. Berlari....berlari......berlari...seribu langkah tergurat sudah, seribu bayangan ikut pula berkelebat aku tetap berlari. Hanya pohon dan tikungan yang sama yang kuingat, aku tak peduli. Mungkin inilah keajaiban menjelang dini hari. Berlari. Aku berlari.

Galaksi. Nebula. Bintang. Cahaya. Bintang. Oh...lentera. Asteroid mungkin. Saturnus. Oh...dinginnya Pluto. Venus dan Mars bercumbu. Noda. Noda. Dan Noda. Turun. Menitis. Sungai mengalir. Panjang. Panjang. Beranak. Menyapa rumah bambu. Menyapa desa. Menyapa kota. Mengalir. Menghitam. Pekat. Ke laut. Terpanggang matahari. Menguap. Terpikat awan. Enggan pulang. Di petik malaikat. Oh asteroid lagi. Dan galaksi lagi. Dan. Oh jadi debu di lautan angkasa. Sepertinya ada pintu di sana. Tapi...

Comments

Popular Posts