“Aku bangga menjadi bagian budaya timur”


"Dunia sedang gelisah…." Pernyataan yang melatar belakangi tulisan ini, adalah sebuah hasil analisis pribadi penulis. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa perkembangan dunia yang sangat pesat ini telah merubah berbagai sistem dan tatanan kehidupan dalam masyarakat secara mikro maupun makro, secara individu maupun kelompok. Sebelum menginjak lebih jauh tentang apa yang akan saya kemukakan, ada baiknya kita tengok bersama fakta sejarah yang mengiringi perkembangan dan perubahan jaman ini.

Abad 20 bisa dikatakan sebagai puncak penemuan-penemuan yang menghembuskan perubahan, terutama dalam bidang teknologi dimana hanya dalam tempo yang kurang dari seratus tahun melalui kemajuan teknologinya manusia yang semula beranggapan bahwa terbang adalah suatu hal yang mustahil kini bahkan telah mampu menjelajahi ruang angkasa. Dari gambar gerak yang kaku hingga kemunculan televisi layar datar, dari telegram hingga telepon genggam serta masih banyak contoh kemajuan teknologi lain yang dicapai dalam tempo kurang dari seratus tahun, dan itu semua terjadi dalam abad 20.

Abad 20 tidak hanya ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi, tapi pergulatan ideologi juga ikut mewarnai perjalanan abad 20. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa perang ideologi antara sosialis yang digawangi oleh Sovyet (Rusia) dengan kapitalis yang dimotori oleh Amerika Serikat menimbulkan pengaruh yang luar biasa terhadap peta politik dan juga ekonomi dunia. Dan sebagaimana kita lihat dan rasakan sekarang, ideologi kapitalislah yang menjadi jawara, yang kemudian berkembang hampir di seluruh bagian dunia.

Pada akhirnya kemenangan kapitalis ini membawa perubahan yang sangat besar dalam kebudayaan global, bahkan bisa dikatakan tak ada satu aspek pun yang tidak terjamah oleh tangan kapitalis, termasuk masalah spiritual. Sepak terjang kapitalis yang mementingkan modal ini berakibat langsung terhadap pola pemikiran manusia, dan menjadikan manusia sebagai budak uang. Sehingga orientasi manusia hanyalah uang dan uang, karena hanya dengan uang sajalah manusia bisa bertahan. Pada awalnya sistem ini memang dirasa cukup cocok dan bagus dalam mengolah dunia, namun ternyata dengan sistem ini manusia kemudian hanya berpikir tentang masalah keuntungan saja, sehingga mengabaikan sisi-sisi lain yang lebih manusiawi, apalagi terhadap alam, sama sekali sudah tidak terpikirkan.

Aurellio Pecci dalam bukunya pernah membahas bahwa kehancuran dan kemunduran nilai manusia ini dikarenakan manusia tidak lagi bersahabat dengan alam dan justru menjauhkan diri dari alam serta merusaknya hanya demi keuntungan semata, selain itu beliau juga menambahkan bahwa nilai kemanusiaan rusak sebagai akibat dari malfungsi sistem kemanusiaan itu sendiri. Tapi sayangnya disini Aurellio Pecci kemudian tidak terlalu menyalahkan sistem kapitalis tersebut. Padahal menurut penulis bahwa apa yang telah beliau ungkapkan adalah sebuah konsekuensi yang logis dari sistem kapitalis tersebut.

Kemudian masih dalam bukunya beliau mulai menghimbau agar manusia mulai kembali ke alam, berselaras dengan alam dan memperlakukan alam sebagai mitra manusia. Disinilah kemudian terletak kelemahan beliau, menurut penulis selama sistem seperti ini masih kita pakai, maka hal tersebut hanya merupakan sebuah utopia yang sangat nyata. Walaupun belakangan ini kita ketahui banyak sekali lembaga yang mulai mengkampanyekan pelestarian alam bermunculan, namun hanya segelintir yang benar-benar murni memperjuangkan kepentingan ini, selebihnya hanyalah topeng-topeng dari kepentingan kapitalis untuk melakukan eksplorasi yang lebih besar lagi.

Sepak terjang kapitalis ini memang sangat luar biasa, mereka juga tak kalah cerdiknya dengan memasukkan gerakan humanisme dalam rangka kepentingannya. Paham ini berkembang pesat di abad 20 yang bertujuan memanusiakan manusia, sebagaimana kapitalisme sendiri awalnya paham ini juga cukup bisa diterima dan merupakan suatu hal yang positif namun kemudian ternyata terkuak bahwa itu semua hanya kedok guna mencari keuntungan yang lebih. Gerakan mereka diawali dengan mengekspos kemiskinan-kemiskinan di negara dunia ketiga, kemudian hasil observasi ini mereka sebarluaskan ke negara-negara maju dengan kedok mencari bantuan kemanusiaan, tapi dibalik itu semua ada kepentingan-kepentingan pemilik modal yang bermain di dalamnya. Dengan harapan bisa memperluas usahanya yang tentunya lebih diuntungkan dengan tenaga kerja yang murah. Sampai kapankah kita terus dibodohi oleh kapitalis ini?

Melalui paham humanisme ini pulalah, kapitalis membentuk pasukan pers untuk lebih menggali daerah-daerah miskin, terbelakang dan sebagainya. Guna membidik peluang lain yang lebih besar. Sebuah ironi bagi dunia pers kemudian, ketika salah satu pemenang hadiah pulitzer untuk kategori foto jurnalistik dan feature tahun 1994 Kevin Carter,bunuh diri setahun setelah dia memenangkan hadiah bergengsi tersebut. Karena dia merasa bersalah lebih mementingkan pekerjaannya daripada menolong anak kecil dalam foto yang ia menangkan tersebut. Perlu diketahui, Kevin Carter memenangkan kategori ini dengan foto yang menggambarkan anak kecil kurus yang terjatuh ketika berlari menuju posko pembagian makanan di Sudan, sementara disampingnya burung pemakan bangkai tengah berdiri mengamatinya seolah-olah menunggu anak kecil tersebut yang sebentar lagi menjadi santapannya. Saat itu, setelah mengambil foto anak tersebut Kevin Carter langsung meninggalkanya. Oleh karena itu ketika pada akhirnya foto tersebut memenangkan hadiah Pulitzer dia merasa bersalah telah mencari keuntungan di atas penderitaan orang lain, sehingga ia memutuskan untuk bunuh diri karena tidak kuat menahan beban moral tersebut.

Sesuai dengan ungkapan pembuka tulisan ini. Kasus Kevin Carter tersebut merupakan salah satu bukti bahwa sistem kapitalis melalui humanismenya telah gagal memanusiakan manusia - Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa ada juga tokoh humanis yang memang murni tanpa kepentingan kapitalis -. Bahwa sesungguhnya manusia itu merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan ternyata tidak tercipta dalam budaya kapitalis, yang tercipta kemudian adalah manusia sebagai makhluk individu bahkan bisa juga sesuai pepatah latin homo homini lupus. Ketika manusia mulai kehilangan makna aslinya, ketika manusia menjadi musuh bagi temannya, lingkungannya juga alamnya sendiri, maka kegelisahan itu kemudian muncul. Dan menurut pengamatan penulis kegelisahan dan kejenuhan ini semakin memuncak menginjak abad 21 ini.

Di lahan lain kapitalis muncul dengan paham yang lain pula, salah satu contohnya paham feminis yang gaungnya telah sampai pula di negara kita. Tak jauh beda dengan humanis, feminis bertujuan memanusiakan manusia terutama kaum wanita. Akan tetapi oleh sistem ini pula gerakan ini di belokkan arahnya dan akhirnya yang terjadi justru merendahkan martabat manusia dan kemanusiaan terlebih kewanitaan, feminis yang berjuang menuntut kesetaraan haknya dengan laki-laki menjadi lupa akan kodratnya. Melalui ajang pemilihan ratu kecantikan dan sejenisnya – walau ajang ini pun juga ditentang oleh kaum feminis yang masih murni -, martabat wanita justru semakin terendahkan. Apa mereka tidak menyadari bahwasanya setiap jengkal tubuh wanita itu adalah objek seksual bagi kaum laki-laki? Bukankah dengan mereka mempertontonkan lekuk tubuhnya itu, kaum pria kemudian hanya menilai wanita sebagai sebuah bentuk untuk memuaskan hasrat kelelakiannya? Apakah yang seperti ini layak kita sebut menaikkan martabat manusia.

Selain itu produk yang kemudian muncul dari budaya barat, adalah produk-produk instan yang sangat kurang oleh nilai moral. Hal ini merupakan sebuah indikasi dari kejenuhan masyarakatnya yang telah jauh dari nilai-nilai spiritual. Cobalah kita tengok produksi-produksi film remaja Amerika, semacam american pie, scary movie, tom cat dan masih banyak film sejenis yang justru menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat mereka sedang diliputi kegelisahan untuk mencari sesuatu yang hilang dari dunia mereka, terlebih lagi jika kita menonton tayangan-tayangan seperti Jackass atau I bet you will di MTV.

Dari ranah musik pun angin kegelisahan ini juga berhembus tak habis-habisnya, terutama di dunia barat. Dari masanya Elvis Presley yang memperkenalkan Rock 'n Roll, the Beatles, The doors hingga sekarang RATM dan Korn. Mereka semua adalah segelintir pemberontak yang lahir dari kegelisahan hidup di alam kapitalis. Pada awalnya gerakan-gerakan mereka dilandasi oleh semangat menolak kemapanan versi mereka yang kemudian melahirkan generasi hippies di tahun 60-70 an. Namun apa yang dulu mereka perjuangkan justru oleh tangan kapitalis dijadikan sebagai suatu lahan komoditi baru yang menghasilkan jutaan dollar. Kalau dulu generasi hippies menggunakan obat dan seks sebagai simbol perlawanan kini gaya hidup seperti ini telah menjadi hiburan. Narkotika yang semula dianggap bagian dari etos penentangan atas kemapanan sekarang malah menjadi kecenderungan penampilan. Anasir-ansirnya sama namun tunjangan dan penopangnya berbeda hingga wataknya berubah negatif. Dari yang tadinya marginal sekarang menjadi sentral, dari yang tadinya alternatif menjadi dominatif. Gaya hidup kaum hippies dan bohemian disulap oleh kapitalis menjadi sebuah industri. Jadi boleh diambil kesimpulan pemberontakan mereka terhadap kapitalis mengalami kegagalan, malah ironisnya mereka dijadikan senjata kapitalis untuk memperoleh keuntungan lebih. Padahal Jim Morrison pernah mengatakan bahwa sumber riil kejahatan bukanlah kekerasan ataupun kegilaan terhadap kekerasan, melainkan kekuatan represif. Yang kalau kita cermati kekuatan represif itu adalah kapitalis tersebut.

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah kenapa pemberontakan mereka mencapai kegagalan? Kalau boleh kita katakan karena mereka lupa akan nilai spiritual yang saya yakini nilai spiritual ini merupakan kekuatan besar untuk menghancurkan kapitalis itu sendiri. Mereka lupa bahwa ketika mereka telah menjadi milik publik, justru merekalah yang dengan mudahnya dihancurkan oleh kekuatan kapitalis melalui media. Dan kita pun tahu bahwa tokoh-tokoh ini pada akhirnya berakhir dengan tragis, mungkin sebagai akibat mereka belum siap menghadapi tekanan yang ditimbulkan oleh gerakan mereka sendiri.

Semua yang telah disebutkan di atas hanyalah sebagian kecil dari hebatnya kapitalis ini merubah dunia yang juga sekaligus menghancurkan dunia. Sebenarnya kalau kita mau jujur dan mengakui bahwa sesungguhnya budaya kita, budaya timur jauh lebih manusiawi dan lebih bersahabat dengan alam, tak perlu kita meniru budaya barat yang selalu berakhir dengan dusta dan kesemuan belaka.


Sebagaimana berkali-kali telah disinggung di atas tentang kegelisahan. Penulis akhir-akhir ini mencium sebuah gejala baru dalam masyarakat dunia, dimana gerakan-gerakan spiritualitas mulai berkembang pesat. Di barat sendiri, kini semakin banyak orang mempelajari budaya-budaya timur, dan juga mistisisme timur yang semua itu berakar pada nilai-nilai spiritualitas. Bahkan di Amerika – negeri yang merupakan mbahnya kapitalis - sekarang mulai muncul gerakan anti seks bebas yang justru di negara kita sedang menjadi trend itu. Hal ini merupakan sebuah indikasi positif bahwa angin perubahan kembali bertiup. Sementara di negara kita pun iklim perubahan ini juga mulai terasa, contohnya kini kalau kita masuk ke toko-toko buku banyak sekali akan kita jumpai buku-buku yang bertemakan spiritual. Semoga itu semua mampu menjadi landasan dasar guna melakukan perubahan tatanan dunia yang sudah mulai menjemukan. Dan semoga nantinya gerakan ini akan mengembalikan nilai manusia sejati, yang menjadikan manusia sebagai homo sacrares homini. Dan penulis memprediksi bahwa dalam tempo seratus tahun ke depan akan terjadi suatu perubahan besar dalam tatanan dunia yang berdasarkan gerakan ini – dan yang lebih membanggakan penulis adalah bahwa gerakan ini berlandaskan budaya timur, yang selama ini dianggap sebagai budaya primitif oleh barat - . Semoga nantinya kita benar-benar merasakan hidup yang lebih baik. Dan akhirnya penulis ingin mengkampanyekan slogan "Aku bangga menjadi bagian budaya timur"

Comments

Popular Posts